Gunung Lamongan, Melihat Danau dari Ketinggian

Wednesday, November 3, 2010

Pemandangan Ranu Pakis, Ranu Klalah dan Ranu Bedali dari ketinggian 1600 mdpl ditawarkan oleh puncak Gunung Lamongan. Argopuro dan kepulan asap Semeru juga dapat kita saksikan dari sana. Dan jalanan berbatu akan mengantar kita menuju puncaknya.
Hujan deras mengguyur, begitu bus sampai di terminal Banyu Angga Probolinggo menjelang maghrib. Kami pun harus berbasah mengejar bus Jurusan Jember yang akan mengantar ke pasar Klakah, Lumajang. Maklumlah, namanya juga musim hujan. Semoga nanti malam dan esok hari kecerahan akan mengiringi kami. Doa itulah yang kami lantunkan dalam hati, sambil menyeka air hujan yang membasahi tubuh.
Di Klakah kami sempatkan untuk membungkus nasi dan membeli perbekalan yang masih kurang. Kemudian, dengan ojek perjalanan berlanjut menuju rumah Mbah Citro, titik awal pendakian. Sebenarnya bisa saja kita jalan kaki dari pasar yang jaraknya sekitar 10 km itu. Namun malam dan cuaca yang tidak bersahabat mengurungkan niat kami.
Mendung menggantung dengan kilatan cahaya mengiringi perjalanan ojek. Sosok Gunung Lamongan nampak sangar di kejauhan, tiap kali kilatan cahaya membelah hitamnya langit. Duh rasanya kok jadi sedikit mistis ya, batin saya.
Make a Wish
Sekitar setengah jam kemudian, sampailah kami di kediaman Mbah Citro. Sesepuh sekaligus juru kunci Gunung Lamongan. Sebuah pendopo dengan teras yang luas menyambut kedatanagn kami. Tiga buah pelita minyak menerangi tempat itu. Rupanya milik tiga ibu yang menjajakan makanan di pendopo berlantai keramik itu. Hanya tiap malam Minggu saja mereka berjualan, maklum hari itulah biasanya ramai pengunjung.
Kami pun segera larut dalam suasana pendopo, berbincang dengan pengunjung yang telah datang sebelumnya. Bahkan, Wahid, salah seorang pengunjung kemdian mengajak kami mengunjungi gunung Fuji yang puncaknya hanya beberapa meter dari pendopo. Lelaki yang sering menjadi pemandu bagi tamu dari Bali yang berkunjung ke Gunung Lamongan itu kemudian menceritakan berbagai hal tentang gunung itu. Mulai dari jalur hingga puncaknya. Dengan suka cita kami mendengarkan semua penuturannya.
Menurut lelaki ramah itu, Lamongan merupakan salah satu gunung yang dikunjungi warga Bali saat datang ke Banyuwangi dan sekitarnya. Ia menunjukkan lokasi di Gunung Fuji yang biasa digunakan warga Bali untuk melakukan upacara. Tak ada pura atau bangunan di sana, hanya daerah berbatu saja. Namun dari tempat yang sejuk itu pemandangan bebas terbuka. Kelap-kelip lampu kota nampak jelas dari sana. Esok hari panorama lepas yang indah pasti dapat disaksikan dari tempat itu.
Sambil menikmati nasi ikan penyet bungkusan dari pasar Kalakah, berulang kali mata kami arahkan ke gunung yang sebentar lagi akan didaki. Kabut telah pergi hingga sosok kokohnya nampak bagai silhouette. Senyum tersungging mana kala bintang mulai bermunculan di angkasa. “Terima kasih Tuhan, Kau beri kecerahan dalam pendakian ini,” syukur terucap dalam kalbuku.
Cuaca cepat sekali berubah. Menjelang tengah malam, saat bersiap untuk mendaki, hujan deras mengguyur. Ya sudah kami hanya bisa menunggu sambil tiduran di pendopo. Ada harapan terselip di hati. Semoga hujan menghapus semua mendung hingga esok tinggallah hari nan cerah.
Selepas hujan, segera saja kami susuri jalur yang berawal di belakang pendopo. Rupanya hanya kami berdua saja yang mendaki malam itu. Suasana segar dan basah mengiringi langkah kaki. Semak basah dengan senang hati menularkan kebasahannya ke tubuh kami.
Mulanya medan berupa jalanan landai menembus perladangan penduduk. Setapak berlumut memaksa kehati-hatian langkah agar tak tergelincir. Semak pun telah rimbun nenutupi sebagian jalur. Mungkin sudah lama tak ada atau hanya satu dua pengunjung ke sana.
Vegetasi kemudian berubah menjadi padang rumput dengan jalanan berbatu. Terbayang betapa panasnya bila kita menempuhnya di siang terik. Tak lama kemudian terhampar bebatuan vulkanik dengan celah-celah yang terbentuk diantaranya. Inilah yang dinamakan Watu Kesed. Mungkin karena bentuknya yang terhampar hingga orang menamainya demikian. Tanda dari cat putih digoreskan sebagai petunjuk jalan.
Sejam perjalanan dari pendopo, sampailah kami di Watu Gede. Tempat yang ditandai dengan batu besar di tengah padang. Nyaman sekali terasa manakala badan direbahkan di rerumputan. Terlebih taburan bintang menghias angkasa. Bintang jatuh berkali-kali melintas langit. Senyum terkembang menyambutnya. Make a wish, begitu kata orang bila melihatnya. “Aku ingin keliling dunia sebelum terlalu tua!” salah satu keinginan yang sempat terucap saat itu. Mungkin hanya tahayul, namun kami merasa larut dalam kegembiraan melantunkan aneka harapan. Setidaknya mimpi dan harapan merupakan langkah awal sebelum mewujudkannya, bukan?
Enggan rasanya meninggalkan kenikmatan Watu Gede. Apalagi dari sini jalur berbatu yang labil dan menanjak telah menanti. Tapi perjalanan masih panjang kami mesti tabah menjalani. Medan berbatu ini cukup menguras tenaga. Haus dan lapar segera menyergap tubuh. Akhirnya roti berselai coklat pun dikudap untuk menawarkannya.
Ada Pacetnya
Lepas jam tiga, kami masuki kawasan hutan. Gelap dan lembab terasa di tempat itu. Lumut menghiasi batang pohon dan bebatuan. Jalur bervariasi antara batu, pasir, dan batuan yang tertutup tanah dan vegetasi. Namun tetap saja batuan labil yang mendominasi. Untungnya ada akar dan batang di kiri kanan jalan yang bisa kita jadikan sebagai tumpuan menjejak keterjalan jalur.
Setengah jam kemudian terlihat sebuah guci ditanam pada cerukan batu. Air menetes dari batuan di atasnya. Inilah Posko Guci, yang menyediakan alternatif sumber air bagi pengunjung Lamongan. Di sepanjang jalur pendakian ke gunung ini memang tak ada sumber air lain yang dapat kita jumpai.
Belum ada jam lima pagi ketika akhirnya kami sampai ke puncak. Merebahkan diri di antara bebatuan sambil menunggu terbitnya matahari merupakan salah satu pilihan yang menggoda. Namun saya lebih suka menjelajahi kawasan puncak sambil menghirup nafas dalam-dalam. Segar dan menyenangkan sekali rasanya menunggu saat-saat mentari beranjak dari peraduannya.
Terang yang mulai nampak di lazuardi menarik untuk dipotret. Karena nggak bawa tripod, akhirnya saya mengabadikannya bertumpu pada bebatuan berlumut yang menghiasi puncak. Tiba-tiba di lengan  sudah menempel seekor pacet. Spontan saya berteriak sambil berlari menggibas-gibaskan tangan. Saya memang paling geli dengan jenis moluska itu. Yuda, teman perjalanan, yang terjaga dari tidurnya malah menertawakan saja kepanikan itu. Alhamdulillah lepas juga binatang penghisap darah itu, setelah sambil meringis saya paksakan jari ini melepasnya.
Akhirnya sunrise yang kami nantikan datang juga. Meski hanya semburatnya yang nampak akibat terhalang kabut. Tak apalah kami masih disuguhi gumpalan awan yang sedap di netra. Juga Argopura dan kepulan asap Jonggring Saloko Semeru nun jauh disana.
Bersama makin terangnya hari, bentang-bentang alam di bawah sana nampak jelas dan indah. Ranu Klakah dan Pakis nampak bagai dua lubang oval berkilauan. Di sebelah kirinya Ranu Bedali terlihat seperti mangkuk yg lebih kecil dibanding dua ranu lainnya. Ada juga bentukan seperti ranu tanpa air. Terlihat seperti cekungan yang dipenuhi vegetasi hijau. Daerah sekitar Gunung Lamongan memang kaya dengan danau tektonik atau yang sering disebut sebagai maar.
Tengah asyik mengabadikan semua keindahan itu, grip kamera terasa basah dan lengket. Ketika ditengok, ternyata berasal dari darah yang terus mengucur dari sela jari manis dan kelingking. Rupanya pacet telah meninggalkan kecupannya di sana. Untung saja dia telah pergi. Kalau masih ada, pasti bentuknya sudah gemuk dengan darah merah di tubuhnya. Duh nggak kebayang, pasti paniknya lebih heboh dari yang tadi hehe.
Zat anti pembekuan darah yang dikeluarkan mulut pacet cukup ampuh. Meski tak terasa perih atau apa, darah masih saja mengucur. Betadin tak mampu meredakannya. Solusinya kemudian hanya dibalut tissue saja agar darahnya tak mencemari kamera.
Lihat dari Dekat
Kawasan puncak Gunung Lamongan tak begitu lebar. Berupa kawasan yang mengelilingi jurang kawah. Namun kita tak dapat berjalan mengelilingi semua kawasan yang tersebut. Di sisi kiri terdapat lereng yang masih mengepulkan asap walaupun hanya tipis saja. Demikian juga di dalam jurang kawah. Walaupun lebih sedikit dibanding  di lerengnya.
Perjalanan menuruni Lamongan kami lakukan sekitar pukul setengah delapan pagi. Menuruni jalur berbatu yang labil ternyata tak segampang ketika naik. Perlu kehati-hatian agar tak terpeleset. Jadinya perjalanan kami menjadi lebih lamban. Terlebih berkali-kali berhenti karena tangan kami begitu tergoda untuk mengabadikannya.
Memasuki kawasan hutan, ternyata tak selebat yang kami bayangkan semalam. Mulanya banyak semak paku-pakuan terhampar di sana. Makin ke dalam pohon sejenis pandan terjulur melingkupi batang-batang pepohonan. Tak ada pohon berbatang besar di sepanjang perjalanan. Tapi cukup teduh berjalan di dalamnya.
Sesampai di pendopo Mbah Citro, perjalanan dilanjutkan ke Gunung Fuji. Penasaran dengan kondisinya di waktu terang. Ternyata tempat itu merupakan kawasan yang dibentuk oleh material vulkanis. Kemungkinan merupakan hasil letusan Gunung Lamongan di masa lalu. Ada alat pemantau kegempaan ditanam di sana.
Dari daerah terbuka ini pandangan mata bebas mengarah ke semua penjuru. Sambil duduk santai kita dapat menikmati sosok Gunung Lamongan dengan bilur-bilur tubuhnya yang berhias aneka vegetasi dan bebatuan. Juga memandang kota di arah sebaliknya. Beberapa pasangan terlihat memadu kasih di tempat ini.
Akhirnya perjalanan diakhiri ke Ranu yang dari puncak sudah melambai-lambai untuk dikunjungi. Karena waktu terbatas, kami hanya sempat mengunjungi Ranu Pakis. Danau yang nampak bagai cekungan oval berkilauan dari puncak, ternyata aslinya cukup luas. Keramba ikan menghiasi tepian danau. Dengan ongkos Rp 3.000,- kita dapat menikmati obyek wisata itu sepuasnya.(*)

0 comments: