GUNUNG SEMERU DAN PURA-PURA KAHYANGAN JAGAT DI BALI

Wednesday, November 3, 2010

Setelah mengungkap sekelumit eksistensi dan asal usul Gunung Semeru, secara
pantheon, menurut Tantu Panggelaran yang pada dasarnya adalah salah satu
sumber Upaweda, selanjutnya perlu dikemukakan lagi hubungan Gunung Semeru
dengan Pura-pura Khayangan Jagat di Bali, berdasarkan sumber-sumber
menuskrip tua, yang kini masih tersimpan di Bali.

Yang dimaksud pura-pura Khyangan Jagat di Bali adalah Pura-pura yang menjadi
pusat pemujaan umum masyarakat Umat Beragama Hindu, dimanapun dia berada.
Pura-pura yang tergolong sebagai Pura Khayangan Jagat adalah Pura Luhur
Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Agung Besakih, Pura Ulundanu Batur, Pura
Luhur Watukaru, Pura Pucak Mangu dan Pura Manikcorong. Pura-pura ini
semuanya berlokasi di Pegunungan, dengan puncak-puncak Gunung masing-masing,
seperti Gunung Lempuyang, Gunung Andakasa, Gunung Agung, Gunung Batur,
Gunung Watukaru, dan Gunung Pucak Mangu.

Hubungan Pura-pura Khayangan Jagat di Bali dengan Gunung Semeru,
pengungkapannya mirip dengan kejadian pemindahan puncak gunung Mahameru di
India ke Tanah Jawa, seperti dikemukakan dalam Tantu Panggelaran. Dalam
lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana, dikemukakan keadaan
Balidwipa dan salaparangdwipa, masih sunyi senyap. Seolah-olah masih
mengambang di tengah lautan yang luas, bak perahu tanpa kemudi, oleng kesana
kemari, tak menentu arahnya. Pada waktu itu di Balidwipa hanya baru ada
Gunung Lempuyang di bagian Timur. Disebelah selatan Gunung Andakasa. Di
sebelah barat, Gunung Batukaru, disebelah utara Gunung Mangu dan Beratan.
Sehingga Balidwipa pada waktu itu masih labil dan goyang.

Keadaan Balidwipa yang masih labil dan bergoyang terus, diketahui oleh Dewa
Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru. Agar Balidwipa menjadi stabil,
Dewa Pasupati memerintahkan Sanng Badawangnala, Sang Naga Anantaboga, Sang
Naga Basuki, Sang Naga Taksaka memindahkan bagian salah satu puncak Gunung
Semeru ke Balidwipa.

Sang Badawangnala, menjadi alas bagian puncak Gunung Semeru yang dipindahkan
ke Balidwipa, Naga Anantaboga dan Naga Basuki mengikat. Sedangkan Naga
Taksaka, juga mengikat dan menerbangkan ke utara. Bagian-bagian puncak
Gunung Semeru yang diterbangkan ke Balidwipa pada waktu itu, adapula
bagian-bagian yang rempak dan jatuh tercecer di Balidwipa, menjadi gunung
Batur, dan sebagian yang tidak tercecer menjadi Gunung Agung. kemudian
setelah itu, keadaan Balidwipa menjadi stabil. Sejak itu pula di Balidwipa
ada Sadpralinggagiri (enam sthana gunung), yakni Gunung Lempuyang, Gunung
Andakasa, Gunung Watukaru, Gunung Pucak Mangu atau Gunung Bratan, Gunung
Batur dan Gunung Agung.

Setelah keadaan Balidwipa menjadi stabil, kemudian Dewa Pasupati,
memerintahkan tiga istadewata atau prabhawanya, yang dalam penghayatan Agama
yang immanent, dikemukakan sebagai tiga putra-Nya. Ketiga Putra-Nya yang
diberi bhisama agar bersthana di Balidwipa menjadi sungsungan Raja-raja dan
Rakyat di Balidwipa, adalah Hyang Gnijaya, bersthana di Gunung Lempuyang.
Hyang Putrajaya, bersthana di Gunung Agung dan Hyang Bhatari (Dewi Danu),
bersthana di Gunung Batur. maka sejak itu, bagi Raja-raja dan Rakyat
Balidwipa, telah ada sungsungan Trilinggagiri (tiga sthana gunung).

Agar keadaan Balidwipa menjadi sempurna, kemudian Dewa Pasupati di Gunung
Semeru, memerintahkan lagi empat orang putranya untuk bersthana di
Balidwipa. Bhatara (Hyang) Tumuwuh, bersthana di Gunung Watukaru, Bhatara
(Hyang) Manik Gumawang, bersthana di Gunung Bratan (Pucak Mangu). Bhatara
(Hyang) Manik Galang, bersthana di Pejeng, Bhatara (Hyang) Tugu, bersthana
di Gunung Andakasa. Sejak itu Balidwipa, dikenal adanya Saptalinggasari,
tujuh gunung sebagai lingga, yang dalam penghayatan agama immanent selaras
dengan konsep dan sistem ajaran Upaweda, sebagai sthana putra-putra Dewa
Pasupati, yang bersthana di Gunung Semeru.

Pengungkapan pantheon Hindu, seperti yang dikemukakan di dalam Lontar Raja
Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana, kalau disimak dan dikaji, ada titik
temu dengan Lontar Usana Bali, yang ditulis oleh Danghyang Nirartha, atau di
Bali lebih dikenal sebagai Ida Pedanda Shakti Bawu Rawuh, salah seorang Wiku
Siwa yang datang dari Jawadwipa, sebagai wiku pembaharu sistem kehidupan
sosial agama Hindu di Bali dan Lombok.

Dalam karya tulisnya itu, ada dikemukakan Pelinggih Pura Catur Lokapala,
yakni di Purrwa (Timur), Gunung Lempuyang, dengan Pura Lempuyang Luhur,
sthana Bhatara Gnijaya, Ring Pascima, (Barat), Gunung Watukaru, dengan Pura
Luhur Watukaru, sthana Bhatara Hyang Tumuwuh, Ring Uttara (Utara), Gunung
Mangu, dengan Pura Ulundanu Bratan, sthana Bhatara Hyang Danawa, Ring
Daksina, (Selatan), Gunung Andakasa, dengan Pura ANdakasa, adalah sthana
Bhatara Hyang Tugu. Ditambah satu lagi Ring Madya,adalah Gunung Agung,
dengan Pura Besakihnya, pusat pemujaan Siwa Tri purusha (Prama Siwa,
Sadasiwa dan Siwa), lengkaplah menjadi Pancagiripralingga (lima gunung
sebagai sthana) lima Dewa.

Demikian titik temu antara konsep Lontar Raja Purana Sasana Candi
Sapralingga Bhuana dengan Lontar Usana Bali, yang telah dikemukakan. Selaras
dengan konsep gunung sebagai tempat suci dan Candi Pralingga, di dalam buku
upadesa, yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
(sekarang) juga ada yang dikemukakan sembilan Khayangan Jagat, yang
berlokasi secara kardinal di Balidwipa. Berlokasi di sembilan gunung dengan
sembilan dewa-dewa yang bersthana di pura-pura Nawagiri yang kardinal,
sebagai istadewata Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Atau dengan kata lain
prabhawa kekuatan Hyang Widhi Yang Tunggal , yang dalam penghayatan agama
yang immament di Bali, lebih dikenal sebagai Dewata Nawasanga.

Dewata Nawasanga, yang bersthana secara kardinal, disembilan penjuru mata
angin, masing-masing adalah :
Gunung Lempuyang (Pura Lempuyang), ditimur tempat pemujaan istadewata Hyang
Widhi, sebagai Dewa Iswara.
Gunung Andakasa, di Selatan (Pura Andakasa), tempat memuja Dewa Brahma.

Gunung Watukaru (Pura Luhur Watukaru), di Barat, tempat memuja Dewa
Mahadewa.
Gunung Batur (Pura Ulundanu Batur), di Utara, tempat memuja Dewa Wisnu
Perbukitan Gua Lawah (Pura Gua Lawah), di Tenggara, tempat memuja Dewa
Mahesora.
Bukit Pecatu (Pura Luhur Uluwatu), di Baratdaya, tempat memuja Dewa Rudra.
Gunung Mangu (Pura Ulun Danu Bratan), di Baratlaut, tempat memuja Dewa
Sangkara.
Gunung Agung (Pura Agung Besakih) di Timur Laut, tempat memuja Dewa Shambu.
Juga Pura Agung Besakih, merupakan Khayangan Jagat (di tengah) tempat
pemujaan Dewa Siwa, Siwa Tripurusha (Paramasiwa, Sadasiwa, dan Si-wa)
seperti yang telah dikemukakan.

Dalam tradisi yang masih hidup sampai sekarang di Balidwipa, di Nawagiri
(sembilan gunung) dengan masing-masing puranya, kalau dilaksanakan pemujaan
dan persembahan di Pura-pura selalu melakukan Upacara Pemendak Tirtha,
beberapa hari sebelum upacara berlangsung. Dan kalau pelaksanaan pemujaan
dan persembahan telah selesai, akan dilanjutkan dengan Upacara Mancakarma,
atau mejejauman ke Gunung Semeru, yang bermakna selaku perwujudan
angayubagya atau sejenis upacara perwujudan terima kasih kehadapan Dewa
Pasupati, yang bersthana di Gunung Semeru.

Suatu pertanyaan, kenapa mesti memohon air suci ke Gunung Semeru, yang
sumbernya biasa diambil di Petirthan Watu Kelosot, melalui sungai Besuk Sat,
dekat Pedukuhan Tulungrejo, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang itu?

Jawabannya, tentu tidak terlepas dari adanya hubungan historis (Tradisi
Kecil dan Tradisi Besar), seperti yang telah dikemukakan. Atau juga walaupun
dikemukakan secara pantheon, dalam penghayatan ajaran agama yang immanent
dalam manuskrip-manuskrip tua yang masih terpelihara dengan baik di
Balidwipa sampai saat sekarang, dalam konsep ajaran-ajaran yang Siwaistis,
Gunung Semeru memang mempunyai hubungan dengan Pura-pura Khayangan Jagat di
Bali

Gunung Semeru tetap merupakan pusat, kalau kita meniti pada sumber-sumber
manuskrip yang telah dikemukakan. Konsep yang sama akan dapat pula kita
simak pada sumber-sumber manuskrip tua yang lain, seperti Raja Purana
Besakih, Raja Purana Ulundanu Batur dan Raja Purana Pura Jogan Agung.
Walaupun versi pengungkapannya berbeda-beda, tetapi visi Siwaistis, yang
mengarah ke Gunung Semeru sebagai sthana Dewa Pasupati, tetap selaras.
Demikian hubungan Gunung Semeru, dengan Pura-pura Kahyangan Jagat di Bali,
sehingga sejak dulu telah metradisi, Upacara Pemendak Tirtha, di Petirthan
Watu Klosot, yang berlokasi di kaki Gunung Semeru, bagian timur, di bawah
Watu Perahu, yang kini karena banjir lahar dingin sisa letusan Gunung Semeru
pada tahun-tahun lalu, telah lenyap.***


sumber: IB Oka Nila


0 comments: